JAKARTA – Kapal nelayan China, Vietnam semakin banyak yang memasukin Laut Natuna Utara untuk mencari ikan. Bahkan kapal-kapal nelayan China dikawal oleh Kapal Penjaga (Coast Guard) China mengintimidasi kapal nelayan Indonesia. Menanggapi kejadian yang terus berulang ini, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS menyatakan pemerintah Indonesia setengah hati bahkan seperti takut kepada China.
“Kasus masuknya Kapal Penjaga (Coast Guard) China ini sudah sering. Banyak dikeluhkan nelayan dan rakyat ingin penegakan kedaulatan di laut Natuna Utara namun kebijakan pemerintah melalui PP No.13/2022 tidak tepat sasaran sumber masalah,” ujar Sukamta.
Tugas Bakamla dalam PP No.13/2022 menjadi koordinator pelaksanaan dan penyusunan kebijakan keamanan laut, penyusunan rencana patroli nasional, dan pembentukan tim kerja pemantauan keamanan dan keselamatan laut. Bakamla kemudian mengkoordinir Patroli Bersama Keamanan dan Keselamatan Laut Nasional tahun 2022.
“Pemerintah ini sengaja membuat kebijakan salah sasaran. Masalah yang jadi perhatian besar rakyat ada di laut Natuna Utara, ini persoalan kedaulatan. Kapal nelayan saja ketika bertemu kapal patroli China berani melawan demi menjaga NKRI sebagai harga mati. Namun pemerintah khususnya Bakamla sengaja membuat patroli bersama dipusatkan hanya di perairan Selat Malaka, Selat Singapura, dan Kalimantan bagian Utara. Alasanya laut Natuna Utara persoalan kedaulatan. Ini kan aneh,” jelas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini.
BACA JUGA : Kebocoran Data Beruntun, Sukamta: Segera Audit Keamanan Siber
Sukamta Minta Pemerintah Segera Bantu Pakistan Hadapi Banjir
Sukamta kemudian menyatakan saat ini diperkirakan ada lebih dari 4 kapal pemerintah yang seharusnya bisa dikoordinasikan dalam patroli laut bergantian di laut Natuna Utara yaitu satu kapal Nasar Utama Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, KRI Kapitan Patimura (371) TNI AL, 1 kapal PSDKP KKP Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) dan terakhir kapal Bakamla.
“Problem koordinasi ini jadi hambatan. Jika alasan Bakamla kedaulatan menjadi wewenang TNI maka khusus di laut Natuna Utara TNI AL harus memimpin K/L terkait untuk bersama-sama menjaga kedaulatan. Selain 3 kapal lain dari KKP, Bakamla, Kemenhub masih ada kapal dari Kepolisian, Bea Cukai, dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) yang bisa dikoordinasikan oleh TNI AL,” ungkapnya.
Menurutnya jika TNI AL yang turun sendirian bisa dipastikan tidak akan sanggup menjaga wilayah laut Natuna Utara setiap saat. Penyebanya, pertama jumlah kapal milik TNI AL terbatas sedangkan wilayah laut Natuna Utara yang luas. Kedua, anggaran patroli minim, anggaran hanya cukup untuk patroli ketika ada laporan masuk mengenai pelanggaran kedaulatan.
Anggota DPR RI asal dapil DIY itu mengingatkan permasalahan di laut Natuna Utara menyangkut kedaulatan negara Indonesia.
“Dari sisi hukum Internasional yaitu UNCLOS 1982 Indonesia sebagai negara pantai (coastal state) memiliki kewenangan untuk memastikan kapal asing yang melintas pada ZEE mematuhi segala peraturan terkait pengelolaan sumber daya hayati dan non hayati. Dasar hukum internasional yang kuat maka pemerintah harus menegakan kedaulatan, diplomasi cerdas dan tegas tidak mengikuti klaim negara lain yang tidak berdasarkan hukum internasional,” papar Sukamta.
Diberitakan sebelumnya, kapal nelayan Indonesia bertemu dan di intimidasi kapal penjaga pantai China di ZEE Indonesia yang diklaim sebagai wilayah laut China. (Ana/Ara).