JOGJA – Buku Nicotine War karya Wanda Hamilton tidak hanya buku perang melainkan politik pengetahuan. Buku ini membedah dan mengungkap dengan gamblang bagaimana politik dagang farmasi dalam berbisnis nikotin.
Hal tersebut disampaikan Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta saat acara bedah buku Nicotine War: Membedah Siasat Korporasi Farmasi Jualan Nikotin, di UC UGM, Jumat (4/3).
Nicotiana Tobacum L, lanjut AB, telah menjadi arena pertarungan kuasa yang akan senantiasa mengkonsolidasikan berbagai strategi yang kompleks melalui perlengkapan, manuver, teknik dan mekanisme tertentu.
“Ada relasi kuasa pengetahuan dalam hal ini. Ada pertarungan politik yang keras. Kita wajib menjaga agar kebenaran tidak dikorbankan, menjaga kedaulatan bangsa dan negara, termasuk kedaulatan hukum,” tutur AB.
Senada dengan Widyanto, Koordinator Nasional Komunitas Kretek (2010-2016), Abhisam Demosa menuturkan sebenarnya mereka (perusahaan farmasi) ingin merebut dan mematenkan nikotin tetapi tidak bisa. Sehingga mereka memproduksi Nicotine Replacement Therapy (NRT).
“Karena nikotin itu alami dia tidak bisa dipatenkan, jadi mereka membuat senyawa mirip nikotin,” terang Abisham dalam diskusi tersebut.
Menurut Abhisam, kretek sejak dulu telah digerogoti oleh pihak asing. Padahal kretek adalah kedaulatan bangsa Indonesia, 90% produksinya dari dalam negeri dan diproduksi oleh masyarakat negeri sendiri. Akar kebudayaannya juga sangat kuat.
Selain Widyanto dan Abhisam, pembicara lain, seorang arsiparis muda, Muhidin M. Dahlan mengkategorikan Nicotine War sebagai buku perang. Menurutnya, semula merokok adalah akvitas yang normal, namun seiring waktu berubah menjadi pembinasaan manusia, penyebab kemiskinan dan memperluas pengangguran.
Nicotine War, lanjut Gus Muh, sapaan akrabnya, tidak hanya dikatakan buku perang melainkan juga buku yang sarat akan kepentingan ekonomi dan politik. Hal itu terlihat bagaimana nikotin ingin direbut kemudian dipatenkan. Sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilakukan.
“Kampanye perang terhadap rokok berdampak serius terhadap regulasi dan penyempitan ruang Industri Hasil Tembakau. Hal ini terbukti, bagaimana peraturan-peraturan yang eksesif yang diterbitkan oleh pemangku kebijakan syarat akan kepentingan,” pungkas Gus Muh. (*/Ana)