JOGJA – Keharusan mengelola sampah di Kota Jogja bakal diterapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Jogja. Bagi yang tidak menaati bakal mendapatkan sanksi sebaliknya bagi yang melaksanakan pengelolaan sampah akan mendapatkan reward.
Sistem disensitif dan insentif tersebut untuk mendorong upaya pengelolaan sampah, yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) No 1 Tahun 2022.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jogja, Sugeng Darmanto, mengatakan penerapan sanksi dan reward tersebut menjangkau bagi warga maupun unit usaha. Insentif diberikan sebagai bentuk dukungan dari Pemkot, karena kesadaran melakukan pengelolaan sampah.
“Bukan kepada personal saja ya, bisa juga komunitas, atau usaha, seperti hotel dan restoran, yang mampu zero waste,” urainya, Senin (12/9/22).
Menurutnya, untuk bentuk bisa bermacam-macam. Tidak harus berbentuk uang, namun bisa pengurangan beban PBB atau keringanan-keringanan lainnya yang terkait dengan program pemerintah.
Pemberian reward tersebut diberikan agar publik semakin termotivasi untuk ambil bagian dalam upaya menekan pembuangan menuju TPA Piyungan. Oleh sebab itu, selain insentif, Pemkot pun bakal mengganjar disinsentif, bagi mereka yang mengabaikan upaya pengolahan.
Kepastian implementasi aturan tersebut baru akan dilaksanakan setelah terbit peraturan walikota (perwal). “Bentuknya bagaimana, masih harus dirumuskan dulu melalui Perwal,” ujarnya.
Ia menjelaskan dalam penerapan disinsentif memang ada punishment yang akan dijatuhkan oleh eksekutif. Sebagai misal sebuah unit usaha urung melaksanakan amanat Perda tentang pengelolaan sampah, maka bisa berdampak pada rekomendasi terkait perizinanya.
“Kalau hotel-hotel yang besar itu kan mestinya sudah bisa mengatasi permasalahan sampah,” ucapnya.
Ia mengingatkan, pengelolaan sampah di Kota Jogja harus mendapatkan perhatian serius. Sebab, per hari produksi sampah menyentuh 370 ton.
“Nah, 60 persen pembuangan menuju TPA Piyungan ini merupakan organik. Otomatis, kesadaran warga untuk mengelola sampah rumah tangga terbilang minim,” katanya.
Sebagai misal produksi sampah di unit usaha, di kantin kompleks Balaikota Jogja ternyata juga belum terpilah dengan baik. “Kalau kita lihat sisa makanan yang basah itu, organik, sama bungkus, masih dijadikan satu. Makanya, menerapkan hal yang sepele, memilah organik dan anorganik itu, susahnya bukan main,” kata Sugeng.
BACA JUGA : Pramuwisata dan Tantangan Pariwisata DIY di Masa Pandemic
Kemiskinan di Kota Jogja Naik, Silpa Capai Rp382 M
Ia berharap perhotelan dapat mengawali, untuk melakukan pemilahan sedari awal. Artinya, di dapur, yang organik, sama anorganik dipisah. “Seharusnya sudah ada langkah pendahulu dari mereka, tapi riilnya tetap campur,” imbuhnya.
Sementara, untuk mengandalkan bank sampah tidak banyak menyentuh pada pengelolaan. Sejauh ini, mayoritas bank sampah masih fokus pada pengelolaan sampah-sampah bersifat anorganik.
“Karena orientasinya lebih pada menimbang. Sedangkan yang bisa ditimbang, ya, sampah anorganik seperti botol, kertas, kardus dan benda benda bekas lainnya,” katanya. (Ana/Ara).